Review jurnal BK "strategi pengendalian diri dalam BK
STRATEGI PENGENDALIAN DIRI DALAM BK
REVIEW JURNAL
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan Dan Konseling
(BK)
Dosen pengampu : Achmad Zayadi, M.pd
Disusun Oleh
Fathul Mubin
Hijrianah Kamalia
Teuku Fahriansyah
Hijrianah Kamalia
Teuku Fahriansyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIKMAH JAKARTA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TAHUN 2018
Review Jurnal 1
A.
Judul
PENGARUH
;ITERASI KEUANGAN DAN PENGENDALIAN DIRI TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF SISWA SMA
MUHAMMADIYAH 1 KARANGANYAR
(Penulis
jurnal ini adalah Fuad Abdul Fattah dkk mahasiswa jurusan pendidikan Ekonomi FKIP Universitas
Sebelas Maret)
B.
Fokus Masalah
Pada
era globalisasi ini harus diakui bahwa peradaban manusia memasuki tahapan yang
baru yaitu adanya revolusi komunikasi. Teknologi semakin berkembang pesat dan
tidak ada filter untuk menghentikannya. Pemanfaatan teknologi ini tidak hanya
berkembang di dunia hiburan saja melainkan juga digunakan dalam teknologi
pertelevisian, komputer, dan komunikasi.
Adanya globalisasi tersebut membuat manusia memiliki akses yang
tanpa batas terhadap informasi terutama informasi mengenai produk elektronik,
makanan, minuman dan pakaian yang merupakan kebutuhan sehari-hari mereka (Chen et
al 2016: 59). Tanpa adanya batasan tersebut membuat manusia memiliki kebutuhan
yang semakin kompleks, beraneka ragam, tidak terbatas dan harus dipenuhi dalam
kehidupan sehari-hari. Manusia melakukan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Namun, kegiatan konsumsi akan menjadi masalah ketika manusia lebih mendahulukan
keinginan daripada kebutuhan yang harus dipenuhinya sehingga mendorong untuk berperilaku
konsumtif.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh antara literasi keuangan dan pengendalian diri terhadap
perilaku konsumtif di SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar
D.
Teori Yang Digunakan
a.
Literasi Keuangan
1.
Pengertian literasi keuangan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok pada saat
ini, karena pendidikan digunakan untuk menunjang proses kehidupan. Begitu pula
proses dalam pemenuhan kebutuhan atau sering disebut dengan konsumsi. Pemenuhan
kebutuhan memerlukan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan keuangan
supaya dalam mengkonsumsi tidak terjadi tindakan yang irasional. Ilmu keuangan
telah diakui sebagai hal penting di berbagai negara. Pemerintah di seluruh
dunia tertarik untuk menemukan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan
tingkat melek keuangan bagi warga negaranya karena kurangnya literasi keuangan
tersebar luas di berbagai kalangan termasuk remaja (Lusardi, 2011: 500). Cara
untuk meningkatkan literasi keuangan diantaranya adalah melalui penciptaan atau
perbaikan strategi nasional untuk pendidikan keuangan dengan tujuan menawarkan
kesempatan belajar melek keuangan di berbagai jenjang pendidikan (Atkinson dan Messy,
2012: 87).
2.
Aspek-aspek Literasi Keuangan
Aspek yang digunakan dan alat yang digunakan untuk mengukur
tingkat literasi keuangan masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Belum
ada instrument pasti yang menjadi dasar dalam mengukur tingkat literasi
keuangan seseorang (Mendes-Da-Silva, 2015:357) Program International for
Student Assesment menyatakan
ada 4 aspek dalam literasi keuangan (OECD, 2015: 87), yaitu: uang dan
transaksi, perencanaan dan pengelolaan keuangan, keuntungan dan resiko, financial landscape.
b.
Pengendalian diri
ü Pengertian
pengendalian diri
Pengendalian diri memiliki berbagai
istilah diantaranya adalah kontrol diri dan self control. Pengendalian diri merupakan suatu
kecakapan individu dalam membaca situasi atau kondisi tertentu. Selain
pengertian tersebut kontrol diri memiliki pengertian sebagai kemampuan untuk
mengontrol dan mengelola perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi sesuai
dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam bersosialisasi, kecenderungan
menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan
orang lain, selalu conform
dengan orang lain, dan menutupi
perasaannya (Ghufron dan Risnawati, 2011: 21). Pengendalian diri bisa diartikan
sebagai suatu pengendalian tingkah laku. Pengendalian tingkah laku mengandung
makna yaitu dalam melakukan sesuatu seseorang mempertimbangkan terlebih dahulu
mana yang baik dan mana yang benar sebelum melakukan tindakan. Semakin tinggi
pengendalian diri seseorang maka semakin tinggi pula pengendalian tingkah laku
orang tersebut. Pengendalian diri membantu mancapai keberahasilan dalam jangka
panjang atau tujuan yang lebih tinggi dengan mengesampingkan kesenangan jangka
pendek (de Boer et
al. 2014: 407).
ü Aspek-aspek
pengendalian diri
Terdapat tiga aspek pengendalian diri,
yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan kontrol keputusan (decisional control) (Ghufron dan Risnawati, 2011: 29)
1)
Kontrol perilaku (behavior control)
Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respon
yang dapat secara langsung mempengaruhi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Kemampuan mengontrol perilaku dibagi menjadi dua komponen, yaitu mengatur
pelaksanaan (regulated
administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).Kemampuan mengatur pelaksanaan
merupakan kemampuan individu untuk mengatur siapa yang mengendalikan situasi.
Apakah dirinya sendiri atau aturan perilaku. Jika diri sendiri tidak mampu maka
akan menggunakan faktor eksternal untuk mengendalikannya. Kemampuan
memodifikasi stimulus merupakan kemampuan untuk mengatur stimulus atau respon
bagaimana situasi yang tidak dikehendaki dihadapi.
2)
Kontrol kognitif
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam
mengontrol informasi yang tidak dikehendaki dengan cara mengintrepretasi,
menilai atau menghubungkan suatu kejadian kedalam kerangka kognitif untuk
mengurangi tekanan. Melakukan penilaian terhadap sesuatu berarti individu telah
berusaha menilai atau menafsirkan keadaan dengan memperhatikan segi-segi
positif.
3)
Kontrol keputusan
Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk
memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan yang diyakini atau disetujuinya.
Pengendalian diri dalam F. A. Fattah, M. Indriayu, Sunarto Jurnal Pendidikan
Bisnis dan Ekonomi 18
menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan,
kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai
kemungkinan tindakan. Berdasarkan pada penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa aspek pengendalian diri adalah kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan control keputusan (decision control).
ü Faktor-faktor
pengendalian diri
Sebagaimana factor-faktor psikologis
lainnya, pengendalian diri mempunyai dua faktor yang mempengaruhi pengendalian
diri yaitu faktor internal dan faktor eksternal
1)
Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri seseorang sendiri. Faktor internal yang mempengaruhi pengendalian yaitu
usia dan kematangan. Semakin bertambah usia seseorang semakin baik pengendalian
diri orang tersebut. Begitu pula dengan kematangan, semakin matang individu
semakin baik pula pengendalian dirinya karena dia sudah tahu mana yang baik dan
mana yang buruk.
2) Faktor
eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang
berasal dari luar diri seseorang. Faktor eksternal yang mempengaruhi
pengendalian diri adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari
seseorang. Persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orangtua yang semakin
demokratis cenderung diikuti pengendalian dirinya. Berdasarkan pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pengendalian diri adalah usia,
kematangan dan keluarga. Semakin bertambah usia dan kematangan seseorang maka
pengendalian dalam mengotrol perilaku, kognitif, dan keputusan akan semakin
baik.
ü Jenis-jenis
pengendalian diri
Menurut
block, and block dalam (Ghufron dan Risnawati, 2011: 31), ada tiga jenis pengendalian
diri, yaitu:
1)
Over control¸yaitu pengendalian diri seseorang yang
terlalu berlebihan sehingga orang tersebut terlalu menahan dirinya dalam
menerima stimulus dari luar.
2)
Under control, yaitu kecenderungan seseorang dalam
melepaskan impuls tanpa pikir panjang
3)
Appropriate control, yaitu pengendalian diri yang
memungkinkan individu mengotrol impuls secara tepat.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe
penelitian inferensial dengan pendekatan kuantitatif. Metode kuantitatif
nerupakan metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data
menggunakan instrument penelitian, analisis dara bersifat kuantitatif dengan
tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2015:8).
Review Jurnal
2
A. Identitas Jurnal
Ø Judul
|
:
|
Konseling Individual Dengan Teknik Modeling Simbolis
Terhadap Peningkatan Kemampuan Kontrol Diri
|
Ø
Jurnal
|
:
|
Jurnal Konseling Gusjigang
|
Ø
Volume & Hal.
|
:
|
Vol. 2, No. 1, hal. 1-11
|
Ø
Tahun
|
:
|
2016
|
Ø
Penulis
|
:
|
Cucu Arumsari
|
B.
Fokus Masalah
Fenomena lemahnya kontrol diri
peserta didik, menyebabkan konseling individul teknik modeling simbolis
dirancang untuk membantu peserta didik meningkatkan kemampuan kontrol diri.
Konseling individual teknik modeling diasumsikan efektif membantu peserta didik
meningkatkan kemampuan kontrol diri.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini untuk mengembangkan kontrol diri penelitian menggunakan metode
penelitian eksperimen kuasi dengan desain single subject dengan desain A-B.
D.
Teori yang Digunakan
1.
Kontrol Diri
Goelman (2005, hlm.
132) kontrol diri berupa tanggung jawab yang paling besar ketika seseorang
berada dalam lingkungan sekolah atau kerja adalah mengendalikan suasana hati
bisa sangat berkuasa atas pikiran ingatan dan wawasan. Bila seseorang sedang
marah, maka paling mudah mengingat kejadian yang mempertegas dendam itu
sendiri, dimana pikiran menjadi sibuk dengan obyek kemarahan dan sikap mudah
tersinggung akan menjungkirbalikan wawasan sehingga yang biasanya tampak baik
kini menjadi pemicu kebencian.
Chita, David & Pali
(2015) self-control pada remaja merupakan kapasitas dalam diri yang dapat
digunakan untuk mengontrol variabelvariabel luar yang menetukan tingkah laku.
Kondisi emosi remaja yang tidak stabil membuat remaja membuat remaja menjadi
konsumtif.
Kontrol diri mempunyai
pandangan, siswa dengan masalah kontrol diri siswa belum mampu mengendalikan
perilaku, perasaan maupun emosinya. Gottfredson dan Hiraschi (Aroma &
Suminar, 2012) menyatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah
cenderung bertindak implusif, lebih memilih tugas sederhana dan melibatkan
kemampuan fisik, egois, senang mengambil resiko, dan mudah kehilangan kendali
emosi karena mudah frustasi. Individu dengan karakteristik ini lebih mungkin
terlibat dalam hal kriminal dan perbuatan menyimapang daripada mereka yang
memiliki tingkat kontrol diri yang tinggi. Willis (Puspita, 2013) siswa yang
dapat mampu mengontrol diri akan melahirkan hasrat, cita-cita yang tinggi
tetapi kemampuan untuk mencapainya sangat kurang, sehingga akan menimbulkan
kegelisahan yang akan mengakibatkan tidak dapat memutuskan perhatian, kurang
bersemangat, berbuat sesuka hatinya dan sebagainya, gejalagejala tersebut
diawali oleh lemahnya kontrol diri.
2.
Modeling Simbol
Modeling simbolis,
model disajikan melalui bahan-bahan tertulis, audio, video, film atau slide.
Modeling simbolis dapat disusun untuk klien individu atau dapat
distandarisasikan untuk kelompok klien (Nursalim, 2005). Film dan televisi
menyajikan contoh tingkah laku yang tidak terhitung yang mungkin mempengaruhi
pengamatannya (Alwisol, 2007, hlm. 351).
Dalam mengembangkan
modeling simbolis harus memperimbangkan unsur-unsur berikut; karaktersistik
klien, perilaku tujuan yang akan didemonstrasikan atau dimodelkan, sarana yang
digunakan, isi tampilan dan pengujian model (Nursalim, 2005). Dalam tampilan
terdapat instruksi, modeling, praktek, umpan balik dan ringkasan, dalam proses
praktek konseli mempraktekan apa yang telah mereka baca, dengar, atau lihat
pada peragaan model dan proses umpan balik konseli dilatih untuk mengulangi
modeling dan mempraktekan kembali perilaku yang dirasakan sulit (Nursalim,
2005).
E.
Metode yang Digunakan
Metode
penelitian eksperimen kuasi dengan desain single subject. Menurut Rosnow
dan Rosenthal (Susanto, Takeuchi & Nakata, 2005) desain subyek tunggal (single
subject research) memfokuskan pada data individu sebagai sampel penelitian.
Susanto, Takeuchi & Nakata (2005) Pada disain subyek tunggal pengukuran
variabel terikat atau target behavior dilakukan berulang-ulang dengan periode
waktu tertentu misalnya perminggu, perhari, atau perjam. Perbandingan tidak
dilakukan antar individu maupun kelompok tetapi dibandingkan pada subyek yang
sama dalam kondisi yang berbeda. Yang dimaksud kondisi di sini adalah kondisi baseline
dan kondisi eksperimen (intervensi). Baseline adalah kondisi di mana
pengukuran target behavior dilakukan pada keadaan natural sebelum diberikan
intervensi apapun. Kondisi eksperimen adalah kondisi di mana suatu intervensi
telah diberikan dan target behavior diukur di bawah kondisi tersebut. Pada
penelitian dengan disain subyek tunggal selalu dilakukan perbandingan antara
fase baseline dengan sekurang-kurangnya satu fase intervensi.
Desain
peneilitian yang digunakan adalah single subject design tipe A-B. Hasselt dan
Hersen (Susanto, Takeuchi & Nakata, 2005). Prosedur disain ini disusun atas
dasar apa yang disebut dengan logika baseline (baseline logic). Dengan
penjelasan yang sederhana, logika baseline menunjukkan suatu pengulangan
pengukuran perilaku atau target behavior pada sekurang-kurangnya dua kondisi
yaitu kondisi baseline (A) dan kondisi intervensi (B). Oleh karena itu, dalam
melakukan penenlitian dengan desain kasus tunggal akan selalu ada pengukuran
target behavior pada fase baseline dan pengulangannya pada sekurang-kurangnya
satu fase intervensi.
F.
Kesimpulan
Konseling
Individual dengan Teknik Modeling Simbolis Adalah untuk Meningkatkan Kemampuan
Kontrol Diri. Gambaran kontrol diri siswa kelas XI SMK Vijaya Kusuma memiliki kemampuan
kontrol diri pada kategori tinggi, sedang dan rendah. Secara rata-rata kelas XI
SMK Vijaya Kususma memiliki kemampuan kontrol diri pada kategori sedang.
Review Jurnal 3
A. Identitas Jurnal
Ø
Judul
|
:
|
Kontrol Diri dan Kecenderungan Kecanduan Internet
|
Ø
Jurnal
|
:
|
Humanitas: Indonesian Psychologycal Journal
|
Ø
Volume & Hal.
|
:
|
Vol. 1, No. 1, hal. 6-16
|
Ø
Tahun
|
:
|
2004
|
Ø
Penulis
|
:
|
Herlina Siwi Widiana, dkk
|
B.
Fokus Masalah
Secara
umum orang yang mempunyai kontrol diri tinggi akan menggunakan internet secara
sehat dan sesuai dengan keperluannya sehingga tidak menjadi kecanduan,
sedangkan orang yang mempunyai kontrol diri rendah tidak mampu mengatur dan
mengarahkan perilaku onlinenya.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
yang ingin dicapai oleh peneliti ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara kontrol diri dengan kecenderungan kecanduan internet.
D.
Teori Yang Digunakan
1.
Pengguna Internet
Suler (1996) menyatakan
pengguna internet dapat di golongkan menjadi dua golongan. Pertama, pengguna
internet yang menggunakan internet secara sehat, artinya golongan ini mampu
memadukan kehidupan nyata dengan dunia cyberspace. Individu-individu
tersebut membicarakan aktivitas online dengan keluarga dan teman-teman,
menggunakan identitas, minat, dan keahlian yang sebenarnya dalam komunitas online,
menelpon dan bertemu langsung dengan orang yang dikenal melalui aktivitas online,
atau bertemu dengan teman yang dikenal dalam dunia maya melalui internet.
Kedua, penguna internet yang menggunakan internet secara tidak sehat.
Young (1996b)
membedakan pengguna internet yang menggunaka internet secra normal (disebut
dengan Non Dependent) dengan pengguna internet yang adiktif (disebut Dependent).
Non Dependent menggunakan internet sebagai sarana untuk mendapatkan
informasi dan untuk
menjaga hubunagan yang sudah terbentuk lama melalui komunikasi elektronik. Dependent menggunakan aplikasi internet yang berupa komunikasi dua arah untuk bertemu, bersosialisasi, dan bertukar ide dengan orangorang yang baru dikenal melalui internet (Young, 1996b; 1997). Non dependent mengunakan internet antara 4 sampai 5 jam per minggu. Dependent menggunakan internet antara 20 hingga 80 jam per minggu dengan 15 jam per sesi online. Dependent secara bertahap mengembangkan kebiasaan menggunakan internet. Hal ini dimungkinkan seperti tingkat toleransi yang meningkat pada alkoholik yang secara bertahap meningkatkan konsumsi alkohol untuk memperoleh efek yang diinginkan (Young, 1996b).
menjaga hubunagan yang sudah terbentuk lama melalui komunikasi elektronik. Dependent menggunakan aplikasi internet yang berupa komunikasi dua arah untuk bertemu, bersosialisasi, dan bertukar ide dengan orangorang yang baru dikenal melalui internet (Young, 1996b; 1997). Non dependent mengunakan internet antara 4 sampai 5 jam per minggu. Dependent menggunakan internet antara 20 hingga 80 jam per minggu dengan 15 jam per sesi online. Dependent secara bertahap mengembangkan kebiasaan menggunakan internet. Hal ini dimungkinkan seperti tingkat toleransi yang meningkat pada alkoholik yang secara bertahap meningkatkan konsumsi alkohol untuk memperoleh efek yang diinginkan (Young, 1996b).
2.
Kecanduan Internet
Young, (1999)
mengungkapkan perasaan bergairah, gembira, dan riang merupakan penguat bentuk
kecanduan pada pengguna internet. Pecandu menemukan perasaan yang menyenangkan
seperti bergairah, gembira, berdebar, bebas, atraktif, merasa didukung, dan
dibutuhkan ketika online. Sebaliknya ketika offline pecandu
mendapatkan perasaan yang tidak menyenangkan seperti merasa kesepian, tidak
terpuaskan, dihalangi, cemas, frustasi, atau sedih.
Tanda-tanda seseorang
yang mengalami kecanduan internet adalah (Young, 1996b): (1) perhatian tertuju
pada internet (memikirkan aktivitas online sebelumnya atau berharap
segera online), (2)ingin menggunakan internet dalam jumlah waktu yang
semakin meningkat untuk mendapatkan kepuasan, (3) tidak dapat mengontrol,
mengurangi, atau menghentikan penggunaan internet, (4) merasa gelisa, murung,
tertekan atau lekas marah ketika mengurangi atau menghentikan penggunaan
internet, (5) Online lebih lama dari waktu yang diharapkan, (6)
mempertaruhkan atau berani mengambil resiko kehilangan hubungan dengan
signifikan (orang terdekat, orang tua), pekerjaan, pendidikan, kesempatan
berkarir karena internet, (7) berbohong terhadap anggota keluarga, terapis atau
yang lainnya untuk menyembunyikan tingkat hubungan dengan internet, (8)
menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari masalah atau
menghilangkan dysphoric mood (perasaan tidak berdaya, rasa bersalah,
cemas, depresi).
Ahli-ahli psikologi
yang lain (Suler, 1996) menyatakan tanda-tanda kecanduan internet sebagai
berikut: (1) perubahan gaya hidup yang drastic untuk menghabiskan waktu dalm
internet yang lebih banyak, (2) penuh aktivitas fisik secara tidak mampu
mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga tidak mampu memilih
tindakan yang tepat. Individu jenis ini tidak mampu mengatur pengunaan internet
sehingga perhatian tertuju pada internet yang tampak dari berharap segera online
atau memikirkan aktivitas online, menggunakan internet dengan waktu
yang semakin meningkat untuk memperoleh kepuasan, tidak mampu memadukan
aktivitas online dengan bagian lain dari kehidupannya seperti waktu
untuk belajar,bekerja, dan bersosialisasi dengan orang lain serta menggunakan
internet sebagai tempat untuk melarikan diri dari masalah.
Beberapa faktor yang
memberi kontribusi terjadinya kecanduan internet di antaranya adalah interaksi
antara pengguna internet dalam komunikasi dua arah, ketersediaan fasilitas
internet, kurangnya pengawasan, motivasi individu pengguna internet dan
kurangnya kemampuan indiviu dalam mengontrol perlaku. Setiap orang memiliki
kemampuan untuk mengontrol perilakunya, demikian halnya dengan penggunaan
internet, setiap orang dapat mengatur penggunaan internet sesuai dengan
kebutuhannya.
3.
Kontrol Diri
Setiap individu
memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku
yaitu kontrol diri. Sebagai salah satu sifat kepribadian, control diri pada
satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada individu yang
memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memlilki kontrol diri
yang rendah. Individu yang memiliki kontrol diri tinggi mampu mengubah kejadian
dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku yang membawa
kepada konsekuensi positif.
Rodin (dalam sarafino,
1990) mengungkapkan control diri adalah perasaan bahwa seseorang dapat membuat
keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang
diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan.
Kontrol diri melibatkan
tiga hal. Pertama, memilih dengan sengaja. Kedua, pilihan antara dua perilaku
yang bertentangan; satu perilaku menawarkan kepuasan dengan segera, sedangkan
perilaku yang lain menawarkan ganjaran jangka panjang. Ketiga, memanipulasi
stimulus agar satu perilaku kurang mungkin dilakukan sedangkan perilaku yang
lain lebih mungkin dilkukan (Skiner dalam Calhoun dan Acocella, 1990).
E.
Metode Yang Dipakai
Subjek
penelitian adalah 70 orang mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UGM dengan kriteria
sebagai berikut: berusia 18 sampai dengan 24 tahun, mahasiswa semester III ke
atas, dan berjenis kelamin laki-laki. Data penelitian diperoleh dengan
menggunakan metode dokumentasi dan metode skala. Metode dokumentasi digunakan
untuk mengungkapkan identitas subjek (usia, jenis kelamin, angkatan), lama
menggunakan internet rata-rata penggunaan internet per minggu, lama tiapkali online,
aplikasi yang sering digunakan, alasan pengunaan aplikasi tersebut, keuntungan
dari penggunaan internet. Metode skala digunakan untk mengungkap kecenderungan
kacanduan internet dan kontrol diri. Analisa data dilakukan dengan menggunakan
teknik korelasi product moment dari pearson untuk menguji hubungan
antara kontrol diri dengan kecenderungan kecanduan internet. Sebelum melakukan
analisis tersebut terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji
normalitas dan uji linearitas. Keseluruhan komputasi data dilakukan dengan
program SPSS Release 6.0.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan
pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara control diri
dengan kecenderungan kecanduan internet sehingga dapat dikatakan semakin tinggi
control diri maka semakin rendah kecendrungan kecanduan internet dan
sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi kecenderungan
kecanduan internet.
Review
Jurnal 4
A. Identitas Jurnal
Ø
Judul
|
:
|
Hubungan Religiutas dan Kontrol Diri Dengan Perilaku
Seksual Pranikah Remaja Di MAN 1 SAMARINDA
|
Ø
Jurnal
|
:
|
Ejournal Psikologi
|
Ø
Volume & Hal.
|
:
|
Vol. 1, No. 2, hal. 220-229
|
Ø
Tahun
|
:
|
2013
|
Ø
Penulis
|
:
|
Ayu Khairunnisa
|
B.
Fokus Masalah
Maraknya
perilaku seksual pranikah yang melanda dunia remaja saat ini, dapat disimpulkan
bahwa religiusitas dan kontrol diri akan dapat membantu remaja untuk tidak
terlibat dalam perilaku seksual pranikah. Religiusitas dan kontrol diri yang
baik akan dapat membuat remaja terhindar dari tingkah laku negatif yang tidak
sesuai dengan norma sosial, yaitu perilaku seksual pranikah.
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan religiusitas dan kontrol diri dengan
perilaku seksual pranikah remaja di MAN 1 Samarinda.
D.
Teori Yang Digunakan
1.
Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual
pranikah menurut Chaplin (2002) adalah tingkah laku,
perasaan atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin. Sedangkan seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti sentuhan, ciuman, pelukan, senggama. Sarwono (2011) berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan maupun diri sendiri. Perilaku seksual adalah perilaku yang melibatkan perasaan yang didasari atau didorong oleh hasrat seksual antar lawan jenis yang disertai kontak fisik. Objek dari perilaku tersebut dapat berupa khayalan, diri sendiri maupun orang lain. Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985) mengatakan bahwa bentuk perilaku seksual pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut adalah touching, kissing, petting dan sexual intercourse. Menurut Sarwono (2011) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, yaitu: (a) religiiusitas, (b) pola asuh, (c) lingkungan, (d) adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, (e) perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja dan (f) perbedaan jenis kelamin.
perasaan atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin. Sedangkan seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti sentuhan, ciuman, pelukan, senggama. Sarwono (2011) berpendapat bahwa perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan maupun diri sendiri. Perilaku seksual adalah perilaku yang melibatkan perasaan yang didasari atau didorong oleh hasrat seksual antar lawan jenis yang disertai kontak fisik. Objek dari perilaku tersebut dapat berupa khayalan, diri sendiri maupun orang lain. Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985) mengatakan bahwa bentuk perilaku seksual pranikah mengalami peningkatan secara bertahap. Adapun bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut adalah touching, kissing, petting dan sexual intercourse. Menurut Sarwono (2011) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, yaitu: (a) religiiusitas, (b) pola asuh, (c) lingkungan, (d) adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, (e) perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja dan (f) perbedaan jenis kelamin.
2.
Religiusitas
Gazalba dalam Ghufran (2010) mengemukakan bahwa religiusitas
berasal dari kata religi dalam
bahasa latin “religio” yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat. Dengan demikian
mengandung makna bahwa religi atau agama umumnya
memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya.
Kesemuanya itu berfungsi mengikat seseorang atau
sekelompok orang yang dalam hubungannya dengan tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Religiusitas adalah sikap batin (personal) setiap manusia dihadapan tuhan yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain, yang
mencakup totalitas dalam pribadi
manusia (Dister, 1988). Sebagai sikap batin, religiusitas tidak dapat dilihat secara langsung namun bisa tampak
dari implementasi perilaku religiusitas itu sendiri.
Keberagamaan sebagai keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada yang maha kuasa yang memberikan
perasaan aman (Monks dalam Ghufran, 2010). Menurut Jalaludin (2007) agama memiliki
beberapa fungsi dalam kehidupan
manusia, yaitu: (a) edukatif, (b) penyelamat, (c) perdamaian, (d) pengawasan sosial, (e) pemupuk rasa
solidaritas, (f) kreatif, (g) transformative dan (h) sublimatif. Menurut Glock dan Stark dalam ancok (1994)
terdapat lima dimensi religiusitas
yaitu: (a) dimensi keyakinan, (b) dimensi praktek agama, (c) dimensi pengalaman, (d) dimensi pengetahun agama dan
(e) dimensi konsekuansi.
3. Kontrol Diri
Hurlock (1990) mengatakan kontrol diri berkaitan dengan bagaimana
individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Kazdin (1994) menambahkan bahwa kontrol diri diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan membantu mengatasi berbagai hal merugikan yang dimungkinkan berasal dari luar. Menurut Berk dalam Gunarsa (2004), kontrol diri adalah kemampuan individu utuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Sebagaimana faktor psikologis lainnya kontrol diri dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah : (a) faktor internal, faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri seseorang adalah faktor usia dan kematangan dan (b) Faktor eksternal, faktor eksternal meliputi keluarga (Hurlock, 1973), dalam lingkungan keluarga terutama orangtua akan menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Block dan Block (dalam Lazarus, 1976) membagi tiga jenis kontrol diri, yaitu: (a) over control, yaitu kontrol yang berlebihan dan menyebabkan seseorang banyak mengontrol dan menahan diri untuk bereaksi terhadap suatu stimulus; (b) under Control, yaitu kecenderungan untuk melepaskan impuls yang bebas tanpa perhitungan yang masak dan (c) appropriate control, yaitu kontrol yang memungkinkan individu mengendalikan impulsnya secara tepat. Averill dalam Ghufran (2010) berpendapat terdapat tiga aspek kontrol diri, yaitu: pertama kontrol perilaku (behavioral control), mengontrol kognisi (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control). Mesina & Messina dalam Gunarsa (2004) menyatakan bahwa pengendalian diri memiliki beberapa fungsi yaitu: (a) membatasi perhatian individu terrhadap orang lain, (b) membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya, (c) membatasi individu untuk bertingkah laku negatif, (d) membantu individu untuk memenuhi kebutuhan individu secara seimbang.
individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Kazdin (1994) menambahkan bahwa kontrol diri diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan membantu mengatasi berbagai hal merugikan yang dimungkinkan berasal dari luar. Menurut Berk dalam Gunarsa (2004), kontrol diri adalah kemampuan individu utuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Sebagaimana faktor psikologis lainnya kontrol diri dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah : (a) faktor internal, faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri seseorang adalah faktor usia dan kematangan dan (b) Faktor eksternal, faktor eksternal meliputi keluarga (Hurlock, 1973), dalam lingkungan keluarga terutama orangtua akan menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Block dan Block (dalam Lazarus, 1976) membagi tiga jenis kontrol diri, yaitu: (a) over control, yaitu kontrol yang berlebihan dan menyebabkan seseorang banyak mengontrol dan menahan diri untuk bereaksi terhadap suatu stimulus; (b) under Control, yaitu kecenderungan untuk melepaskan impuls yang bebas tanpa perhitungan yang masak dan (c) appropriate control, yaitu kontrol yang memungkinkan individu mengendalikan impulsnya secara tepat. Averill dalam Ghufran (2010) berpendapat terdapat tiga aspek kontrol diri, yaitu: pertama kontrol perilaku (behavioral control), mengontrol kognisi (cognitive control), dan mengontrol keputusan (decisional control). Mesina & Messina dalam Gunarsa (2004) menyatakan bahwa pengendalian diri memiliki beberapa fungsi yaitu: (a) membatasi perhatian individu terrhadap orang lain, (b) membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya, (c) membatasi individu untuk bertingkah laku negatif, (d) membantu individu untuk memenuhi kebutuhan individu secara seimbang.
4. Remaja
Remaja adalah usia peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa
dengan diikuti oleh perubahan fisik dan psikologis dan berusaha menemukan jalan hidupnya serta mulai mencari nilai-nilai seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan dan keindahan. Monks (2002), membagi remaja menjadi tiga kelompok usia, yaitu: (a)remaja awal, berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun; (b) remaja pertengahan, dengan rentang usia 15 sampai 18 tahun; (c) remaja akhir, berkisar pada usia 18 sampai 21 tahun. Penelitian ini berfokus pada remaja yang berusia 16 samapai 18 tahun yang masuk dalam kategori remaja tengah dengan berkembangnya kemampuan berfikir dan mampu mengarahkan diri sendiri.
dengan diikuti oleh perubahan fisik dan psikologis dan berusaha menemukan jalan hidupnya serta mulai mencari nilai-nilai seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan dan keindahan. Monks (2002), membagi remaja menjadi tiga kelompok usia, yaitu: (a)remaja awal, berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun; (b) remaja pertengahan, dengan rentang usia 15 sampai 18 tahun; (c) remaja akhir, berkisar pada usia 18 sampai 21 tahun. Penelitian ini berfokus pada remaja yang berusia 16 samapai 18 tahun yang masuk dalam kategori remaja tengah dengan berkembangnya kemampuan berfikir dan mampu mengarahkan diri sendiri.
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif yaitu penelitian yang banyak menggunakan angka, mulai dari
mengumpulkan data penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasilnya. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 478 orang siswa di MAN 1 Samarinda. Sampel diambil dengan menggunakan tekhnik random sampling, yaitu pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu, dengan jumlah 95 orang sampel.
kuantitatif yaitu penelitian yang banyak menggunakan angka, mulai dari
mengumpulkan data penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasilnya. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 478 orang siswa di MAN 1 Samarinda. Sampel diambil dengan menggunakan tekhnik random sampling, yaitu pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu, dengan jumlah 95 orang sampel.
Teknik pengumpulan data yaitu metode skala.
Teknik analisis yang digunakan yaitu
analisis regresi untuk mengetahui seberapa besar hubungan dan kemampuan prediksi kedua varibel bebas
(religiusitas dan kontrol diri) terhadap variabel
terikat (perilaku seksual pranikah). Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang
meliputi normalitas sebaran linearitas hubungan
variable bebas dengan variable terikat. Keseluruhan teknik analisis data menggunakan spss versi 13.0.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data
dalam penelitian ini, dapat disimpulkan
bahwa:
bahwa:
ü
Terdapat hubungan negatif antara religiusitas dan kontrol diri
dengan
perilaku seksual pranikah pada remaja di MAN 1 Samarinda
perilaku seksual pranikah pada remaja di MAN 1 Samarinda
ü
Terdapat hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku
seksual
pranikah pada remaja di MAN 1 Samarinda
pranikah pada remaja di MAN 1 Samarinda
ü
Terdapat hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku
seksual pranikah pada remaja di MAN 1 Samarinda
Review Jurnal
5
A.
Judul
HUBUNGAN SELF
MONTORING DENGAN IMPULSIVE BUYING TERHADAP PRODUK FASHION PADA REMAJA
(Penulis jurnal ini adalah Anastasia Anin F
dan Nuryati Attamimi fakultas psikologi Universitas Gajah Mada)
B.
Fokus Masalah
Bertentangan
dengan paradigm ‘manusia ekonomi yang rasional’, pada kenyataannya banyak
kegiatan belanja sehari‐hari yang tidak didasari oleh pertimbangan yang matang. Kegiatan belanja
sebagai salah satu bentuk konsumsi, saat ini telah mengalami pergesaran fungsi.
Dulu berbelanja hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi saat ini
belanja juga sudah menjadi gaya hidup, sehingga belanja tidak hanya untuk membeli
kebutuhan pokok yang diperlukan, namun belanja dapat pula menunjukkan status
sosial seseorang, karena belanja berarti memiliki materi
Gaya belanja yang lebih spontan uga
dapat diantisipasi untuk sewaktuwaktu muncul, misalnya saat hasrat untuk
membeli terasa begitu kuat sehingga menjadi pemicu timbulnya mpulsive buying.
Tingkah laku belanja yang spesifik ini merupakan fenomena perilaku konsumen
yang keberadaannya tidak pernah surut, melibatkan pembelian berbagai produk dan
muncul dalam berbagai situasi serta kebudayaan (Kacen dan Lee, dalam Herabadi,
2003).
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan self monitoring dengan impulsive buying terhadap produk fashion pada
remaja
D.
Teori yang
digunakan
1.
Impulsive buying
Impusiive buying dapat
didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk membeli secara spontan,
reflektif, atau kurang melibatkan pikiran, segera, dan kinetik. Individu yang
sangat impulsive lebih mungkin terus mendapatkan stimulus pembelian yang
spontan, daftar belanja lebih terbuka, serta menerima ide pembelian yang tidak
direncanakan secara tiba‐tiba.(Murray dalam Dholakia, 2000). Menurut Rook’s dalam Engel, et
al (1995) karakteristik impulsive buying adalah spontan, kekuatan impuls
dan ANIN F., DKK. JURNAL PSIKOLOGI 183 intensitas tinggi, merangsang
kegembiraan, dan tidak peduli dengan konsekuensi. Loudon dan Bitta (1993)
mengungkapkan faktor‐faktor yang mempengaruhi impulsive buying, yaitu :
a. Produk dengan karakteristik harga murah, kebutuhan kecil atau
marginal, produk jangka pendek, ukuran kecil, dan toko yang mudah dijangkau.
b. Pemasaran dan marketing yang meliputi distribusi dalam
jumlah banyak outlet yang self service, iklan melalui media massa
yang sangat sugestibel dan terus menerus, iklan di titik penjualan, posisi display
dan lokasi toko yang menonjol.
c. Karakteristik konsumen seperti kepribadian, jenis kelamin, social
demografi atau karakteristik social ekonomi.
2.
Self monitoring
Setiap individu berbeda dalam memilih jenis informasi yang
digunakan untuk konsep dirinya. Tiap‐tiap individu memiliki kesadaran berbeda‐beda
tentang cara menampilkan perilaku pada orang lain yang disebut sebagai self monitoring
(Penrod, 1986). Self monitoring adalah kemampuan individu untuk menangkap
petunjuk yang ada di sekitarnya, baik personal maupun situasional yang spesifik
untuk mengubah penampilannya, dengan tujuan menciptakan kesan positif yang
meliputi kemampuan individu untuk memantau perilakunya dan juga sensitivitas
individu untuk melakukan pemantauan terhadap dirinya (Hiskawati, 2004). Menurut
(Kristiana, 1997) self monitoring memiliki berbagai aspek yaitu (a)
aspek kontrol penampilan diri (ekspresive selfcontrol), yaitu
berhubungan dengan kemampuan aktif mengontrol perilaku ekspresif yang
ditampilkan. (b) Pementasan pertunjukan sosial (social stage presence),
yaitu berhubungan dengan kecenderungan untuk bertingkah laku dan menarik
perhatian dalam situasi sosial sosial. (c) Penyajian kesesuaian diri (other
directedness self‐presentation) yang
berhubungan dengan peran individu yang diharapkan orang lain dalam situasi
sosial.
E.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan 2 macam skala sebagai alat ukur untuk memperoleh data yang
diperlukan yaitu Skala Impulsive buying terhadap Produk Fashion dan
Skala Self monitoring. Yang diberikan secara langsung pada subjek
penelitian. (Hadi, 1991).
1.
Skala Impulsive buying terhadap Produk Fashion
Skala
ini dibuat berdasarkan empat aspek impulsive buying dari Rook’s dalam
Engel, et al (1995) yaitu aspek spontan, kekuatan impuls dan intensitas,
stimuli dan kegembiraan, tidak peduli dengan konsekuensi. Skala ini kemudian
dimodifikasi sesuai tujuan penelitian menjadi Skala Impulsive buying terhadap
Produk Fashion. Hasil ujicoba menunjukkan 29 aitem valid pada rentang
rix= 0,5 sampai rix= 0,709, dan reliabel pada alpha (α) = 0,921.
2.
Skala
Self monitoring
Skala
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari skala yang
disusun oleh Snyder dan Gangestad (1986) yang terdiri dari tiga aspek, yaitu :
kontrol penampilan diri (ekspresive self‐control), pementasan pertunjukan sosial (social stage presence), penyajian
kesesuaian diri (other directedness self‐presentation. Hasil ujicoba menunjukkan 29 aitem valid pada rentang rix = 0,255
sampai rix = 0,647 dan reliabel pada alpha (α) = 0,913.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan
hal‐hal
yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
1.
Ada
hubungan positif yang signifikan antara self monitoring dengan impulsive
buying terhadap produk fashion pada remaja. Semakin tinggi self
monitoring maka impulsive buying terhadap produk fashion pada
remaja semakin tinggi.
2.
Sumbangan
efektif self monitoring terhadap impulsive buying terhadap produk
fashion pada remaja sebesar 16,2 persen.
3.
.
Tidak ada perbedaan impulsive buying terhadap produk fashion pada
remaja ditinjau dari jenis kelamin. Sumbangan jenis kelamin terhadap impulsive
buying terhadap produk fashion pada remaja sebesar 3,9 persen.
4.
Tidak ada perbedaan impulsive buying terhadap
produk fashion pada remaja ditinjau dari status tinggal. Sumbangan status
tinggal terhadap impulsive buying terhadap produk fashion pada remaja
sebesar 2,8 persen
Aspek
|
Jurnal 1
|
Jurnal 2
|
Jurnal 3
|
Jurnal 4
|
Jurnal 5
|
Definisi pengendalian diri
|
ü
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Mengenal poyensi diri
|
-
|
-
|
-
|
ü
|
-
|
EQ dan SQ
|
ü
|
-
|
ü
|
-
|
-
|
Manfaat pengendalian diri
|
-
|
-
|
ü
|
-
|
-
|
Spesifikasi
Definisi pengendalian diri
|
|
Jurnal 1
|
Pengendalian diri memiliki berbagai istilah diantaranya
adalah kontrol diri dan self control. Pengendalian diri merupakan suatu kecakapan individu
dalam membaca situasi atau kondisi tertentu. Selain pengertian tersebut
kontrol diri memiliki pengertian sebagai kemampuan untuk mengontrol dan
mengelola perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi sesuai dengan situasi
dan kondisi untuk menampilkan diri dalam bersosialisasi, kecenderungan
menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan
orang lain, selalu conform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya (Ghufron dan Risnawati, 2011:
21).
|
|
|
Mengenal potensi diri
|
|
Jurnal 4
|
Dalam hal mengenal potensi diri penulis mengambil contoh potensi
diri remaja terhadap perilaku seksual pranikah yang melanda
dunia remaja saat ini, dapat disimpulkan bahwa religiusitas dan kontrol diri
akan dapat membantu remaja untuk tidak terlibat dalam perilaku seksual
pranikah. Religiusitas dan kontrol diri yang baik akan dapat membuat remaja
terhindar dari tingkah laku negatif yang tidak sesuai dengan norma sosial,
yaitu perilaku seksual pranikah.
|
|
|
EQ dan SQ
|
|
Jurnal 1 dan 3
|
Dengan adanya pengendalian diri dalam
bimbingan dan konseling dapat Mengontrol keputusan (EQ) merupakan kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu
tindakan berdasarkan yang diyakini atau disetujuinya. Pengendalian diri dalam
F. A.
Fattah, M. Indriayu, Sunarto Jurnal Pendidikan Bisnis dan Ekonomi 18 menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya
suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk
memilih berbagai kemungkinan tindakan. Berdasarkan pada penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa aspek pengendalian diri adalah kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan control keputusan (decision control).
Berikutnya yang berkaitan dengan SQ
adalah orang yang sudah kecanduan dengan internet maka dari itu pengendalian
diri sangat berpengaruh disini Setiap individu memiliki suatu
mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku. Sebagai
salah satu sifat kepribadian, control diri pada satu individu dengan individu
yang lain tidaklah sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi
dan ada individu yang memlilki kontrol diri yang rendah. Individu yang
memiliki kontrol diri tinggi mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama
dalam mengarahkan dan mengatur perilaku yang membawa kepada konsekuensi
positif.
|
|
|
Manfaat pengendalian diri dalam BK
|
|
Jurnal 3
|
Dengan adanya pengendalian diri dalam diri seseorang tentu saja
akan bermanffaat untuk dirinya sendiri diantaranya ialah dapat menempatkan
diri dan mengatur perilaku kepada konsekuensi yang positif
|
KESIMPULAN
Berdasarkan review yang telah
disusun berhubungan dengan pembahasan
utama mengenai strategi pengendalian
diri dalam BK yang mana strategi pengendalian diri tersebut terdiri dari
mengenal potensi diri, mengetahui kaitan pengendalian diri terhadap EQ dan SQ,
dan mengetahui apa saja manfaat pengendalian diri dalam BK ini sangatlah
penting untuk kita ketahui sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan.guna mengatasi masalah masalah peserta didik baik dalam kegiatan
belajar mengajar maupun diluar kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Komentar
Posting Komentar